Rabu, 22 April 2015

Artikel ke 6 : Konsep Carl Rogers tentang Kepribadian, Unsur-unsur Terapi & Metode-metode Dalam Person Centered Therapy

 PERSON CENTERED THERAPY

Rogers tidak menggambarkan perkembangan individu dalam tahapan tertentu seperti laiknya Erikson dan beberapa psikolog kepribadian lainnya. Rogers lebih mengarahkan teorinya untuk membingkai perkembangan kepribadian melalui mekanisme-mekanisme yang dapat berlaku secara universal. Kelemahan dari perspektif ini adalah kesulitan untuk menerapkannya pada situasi umur yang berbeda, seperti pada usia anak-anak di mana perkembangan kognitif belum seperti usia dewasa. Catatan penting pada teori kepribadian rogers adalah self terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang unik pada setiap individu. Pengalaman tersebut, selanjutnya, dipersepsi menjadi bagian-bagian yang disimbolisasikan menjadi konsep utuh self atau kepribadian. Pengalaman dipahami menjadi nilai-nilai yang kemudian membentuk self. Karena itu struktur self pada setiap orang dapat berubah dan berkembang sesuai dengan situasi dan ragam pengalaman yang ditemui atau dirasakan.
Evaluasi adalah proses yang sangat mungkin terjadi pada struktur self. Rogers menggarisbawahi bahwa evaluasi hanya dapat dilakukan apabila self tidak merasa terancam.  Evaluasi terjadi apabila individu merasa bahwa pengalaman tertentu tidak sesuai dengan konsep self yang aktual.

Konsep teori tentang kepribadian Rogers (Rogers dalam Corsini, 2011) mengacu pada sembilanbelas pokok pikiran tentang kepribadian, yaitu:
  1. Semua individu (organisme) berada di dunia pengalaman yang terus berubah. Pada konteks tersebut, individu tersebut adalah pusat perubahan.
  2. Individu atau organisme bereaksi terhadap perubahan fenomena sebagaimana hal tersebut dirasakan atau dipersepsikan. Fenomena yang dipersepsikan tersebut adalah realitas bagi individu.
  3. Organisme bereaksi sebagai satu unit yang utuh terhadap bidang fenomena.
  4. Individu memiliki kecenderungan dan upaya untuk mengaktualisasikan, menjaga dan memelihara status sebagai organisme yang terus memberikan makna atas pengalaman.
  5. Beberapa bagian dari keseluruhan ruang yang dipersepsi secara bertahap akan dipisahkan dan menjadi sesuatu yang disebut diri (self).
  6. Sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan –dan lingkungan sebagiannya adalah hasil interaksi dengan individu lain– self terbentuk, cair tapi konsisten pada persepsi tentang karakteristik  dan hubungan antara aku (I sebagai subyek) dan aku lian (me sebagai obyek) bersama dengan pelbagai nilai yang terselip pada konsep-konsep tersebut.
  7. Sudut pandang terbaik untuk memahami kepribadian subyek tertentu mengacu pada kerangka yang mengacu langsung kepada individu.
  8. Perilaku secara prinsipil merupakan upaya yang diarahkan untuk memenuhi pelbagai kebutuhan sebagai sesuatu yang dialami pada ruang pengalaman langsung yang dipersepsi.
  9. Emosi menyertai dan memfasilitasi tujuan yang mengarahkan perilaku. Sementara bentuk emosi berhubungan dengan jenis perilaku yang dianggap berpengaruh untuk mempertahankan keberadaan individu.
  10. Nilai melekat pada pengalaman, sementara nilai menjadi bagian langsung dari struktur diri (self) dan nilai-nilai yang merupakan bagian dari struktur diri.
  11. Pengalaman yang terjadi dalam kehidupan individu beroperasi dengan cara: a) disimbolkan, dirasakan dan disusun dalam beberapa hubungan langsung dengan diri; b) diabaikan karena tidak ada hubungan yang dirasakan secara langsung  pada struktur diri (self); dan c) indvidu menolak simbolisasi pengalaman karena tidak konsisten dengan struktur diri (self) tersebut.
  12. Hampir seluruh model perilaku yang diterima oleh individu adalah bentuk yang sesuai dan konsisten dengan konsep diri.
  13. Perilaku dapat disebabkan oleh pengalaman organik dan kebutuhan yang belum disimbolisasikan pada self.
  14. Penyesuaian psikologis  terjadi apabila ketika konsep diri,  seperti pengalaman viseral dan sensorik berasimilasi pada tingkat simbolis ke dalam hubungan yang konsisten dengan konsep diri pada individu.
  15. Kegagalan menyesuaikan diri secara psikologis ada terjadi apabila individu menyangkal pengalaman sensoris dan viseral. Akibatnya pengalaman tersebut tidak tersimbolisasikan and tertata pada struktur kepribadian. Situasi ini menyebabkan ketegangan atau potensi ketegangan psikologis.
  16. Pelbagai pengalaman yang tidak sesuai dengan struktur kepribadian individu dinilai sebagai ancaman. Sikap ini dimunculkan untuk mempertahankan situasi kepribadian atau self itu sendiri.
  17. Self, pada situasi tertentu akan mengevaluasi pengalaman yang tidak konsisten dengan struktur kepribadian. Penilaian terhadap pengalaman tersebut akan direvisi. Hal ini terjadi apabila pengalaman yang tidak sesuai tersebut muncul dengan tidak menimbulkan ancaman atas struktur self itu sendiri.
  18. Ketika pengalaman sensoris tertentu diterima dan dipersepsi lalu disatukan ke dalam satuan sistem kepribadian, maka kecenderungan lain yang muncul adalah self akan lebih memahami keberadaan sesuatu yang lian dan memahami keberadaan individu lain sebagai yang terpisah dari dirinya.
  19. Karena individu memiliki sistem untuk mempersepsi dan menerima pelbagai pengalaman ke dalam struktur kepribadian, maka ia akan menyadari telah mengganti atau memperbaharui nilai-nilai terkini. Perubahan tersebut secara intensif mengacu pada  kecenderungan introyeksi yang telah disimbolisasikan secara terdistorsi atau tersesuaikan melalui sebuah proses penilaian yang berkelanjutan pada individu.
Rogers memiliki konsep kepribadian individu yang secara utuh berfungsi (fully functioning person). Konsep ini akan dijelaskan pada bagian tujuan terapi menurut Rogers.

Munculnya Psikopatologi

Istilah kegagalan penyesuaian (maladjustment) menjadi istilah penting dalam pemikiran Rogers menyangkut perkembangan psikopatologi. Istilah ini berlawanan dengan istilah lain, yaitu individu yang berfungsi secara utuh (fully functioning person). Ketidaksesuaian konsep diri dan tindakan menyebabkan individu mengalami hambatan tertentu untuk mengekspresikan dirinya atau sesuatu yang berkaitan langsung dengan medan fenomena. Hal ini menyulitkan individu dalam proses kontak langsung terhadap medan fenomena selanjutnya.Maladjusment juga menyebabkan ketegangan berlangsung secara terus menerus selama ketidaksesuaian tersebut masih terjadi dalam hubungan self dengan medan fenomena.

Istilah ini menunjukkan situasi individu yang bertindak tidak sesuai dengan konsep diri atau struktur kepribadian itu sendiri. Pengalaman –yang dijalani– menjadi sesuatu yang bertolak belakang dengan situasi kepribadian. Situasi inkongruen memaksa individu untuk bertindak sesuai dengan potensi atau sistem yang dimiliki. Pertentangan antara struktur kepribadian atau diri (self) selanjutnya menimbulkan ketegangan bagi pribadi tersebut. Tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan persepsi yang menjadi struktur self menimbulkan kecemasan yang lebih lanjut menimbulkan persoalan lain. Inkongruensi menimbulkan sikap bertahan yang membuat individu semakin sulit menerima hal-hal baru akibat karut-marutnya hubungan antara struktur kepribadian dan bentuk-bentuk tindakan.

Inkongruensi adalah konsekuensi dari dua bentuk tindakan dalam proses mempersepsi, yaitu mendistorsi dan menyangkal. Mendistorsi berarti kesalahan mempersepsi sesuatu untuk dapat diterima sebagai sebuah konsep makna dalam self. Distorsi dapat terjadi akibat penghayatan yang parsial atau tidak utuh pada pengalaman-pengalaman langsung pada medan fenomena. Self yang terbentuk dari informasi yang tidak lengkap atau salah dipahami akibat distorsi tidak akan terbentuk secara utuh pula. Berbeda dengan distorsi, penolakan berarti individu meniadakan pengalaman tertentu dari medan fenomena. Pada tataran koseptulisasi, penolakan dilakukan dalam bentuk pengingkaran atau tindakan tidak melibatkan pengalaman tertentu untuk turut dikonseptualisasi atau disimbolisasi ke dalam self. Pengingkaran menjadikan pengalaman self menjadi tidak utuh. Pemahaman yang tidak utuh ini menimbulkan masalah baru ketika self menemukan fenomena serupa –sehingga tidak memiliki referensi tindakan– atau ketika self membutuhkan sekuel pengalaman tersebut untuk mengambil keputusan terkait dengan hal lain yang berkaitan.

Ketidakselarasan menimbulkan dua kemungkinan, yaitu kecemasan dan tindakan bertahan. Kecemasan timbul karena adanya perbedaaan antara konsep self dengan tindakan dalam upaya untuk menyesuaikan sesuatu denga. n medan fenomena. Sementara tindakan bertahan menyebabkan self tidak memiliki respon yang baik atas perubahan-perubahan pada medan fenomena yang kemudian menghasilkan ketegangan lain.
Kecemasan terus menerus dapat dinilai kemudian menjadi adanya ancaman. Pada situasi inkongruen, self bisa saja mengganti konsep kongruensi menjadi konsep yang baru. Penggantian ini akan menjadikan self memiliki masalah yang baru, mengingat pembentukan konsep tersebut dilakukan dalam situasi ketidakselarasan. Semakin akutnya situasi inkongruensi pada self semakin situasi self itu sendiri. Self kemudian semakin merasa berjarak, tidak dapat merasakan secara utuh sebuah pengalaman akibat terbatasnya penolakan. Pertemuan dengan medan fenomena yang serupa tidak dapat diselesaikan oleh self akibat minimnya acuan penyelesaian masalah.

Tujuan Terapi

Tujuan terapi dalam konsep Rogers adalah membentuk individu yang secara utuh berfungsi (fully functioning person). Definisi fully functioning person adalah orang yang mampu mengalami secara utuh hal yang dirasakan dan mempersilakan kesadaran mengiringi secara bebas hal-hal yang dialami.
Rogers (1961) menilai beberapa corak penting individu yang berfungsi secara penuh, yaitu:

a). Memiliki sikap terbuka pada pengalaman. Individu pada taraf ini menjauhkan diri dari tindakan menghindari atau bertahan atas pelbagai hal yang terjadi dan berkembang.

b). Kehidupan eksistensial yang tumbuh kembang. Taraf ini mendorong individu untuk tidak melakukan distorsi atau pengingkaran atas elemen-elemen medan fenomena. Situasi ini lebih memudahkan individu untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

c). Pertumbuhan kepercayaan terhadap diri dan pribadi. Taraf ini membuat individu memiliki kemampuan untuk menentukan tindakan-tindakan yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi kepribadiannya sehingga tidak menimbulkan inkongruensi.

d). Kebebasan memilih. Kekebasan memilih membuat individu terbebas dari hal-hal yang berpotensi menekan atau menghalangi self untuk tumbuh, menyesuaikan diri atau berkembang.
 
e). Munculnya kreativitas
Kreativitas menandai bahwa individu telah mampu menyesuaikan diri dengan  bebas terhadap medan fenomena. Hal ini membuat individu merasa bebas tanpa harus merasa terhalangi dengan situasi bertahan atau situasi yang mengancam. Kreativitas membuat individu lebih mudah melakukan tindakan yang tepat sesuai dengan struktur kepribadian.
 
f). Sikap konstruktif. Sikap ini bersungsi sebagai salah satu penghubung antara self dengan medan fenomena. Hal ini memudahkan self untuk membangun sikap-sikap yang penting dan sesuai dengan medan fenomena.
 
g). Kehidupan yang utuh. Kehidupan yang penuh berarti penerimaan atas medan fenomena secara penuh pula baik untuk aspek-aspek yang mudah diterima (kegembiraan dan keselarasan) atau hal-hal yang tidak mudah diterima (kesedihan dan kesusahan). Kedua aspek tersebut dianggap sebagai bagian utuh yang dijalani dalam proses hidup tanpa adanya ketertekanan. Penerimaan ini muncul dari sikap terbuka yang menerima apa adanya medan fenomena dan menyikapinya secara tepat agar tidak menimbulkan ketegangan atau persoalan eksistensial yang mendorong munculnya kecemasan.

Proses Psikoterapi

Proses terapi dalam konsep Client Centered Therapy (CCT) Carl Rogers langsung beranjak dari upaya terapis untuk memahami situasi yang melekat pada klien dengan cara atau pendekatan yang diinginkan oleh klien tersebut sendiri. Hal tersebut menjadi penting, mengingat terapis tidak hanya perlu berempati terhadap hal yang disampaikan oleh klien, tetapi juga menyangkut cara klien untuk menyampaikannya kepada terapis.
Sebagai fasilitator, proses penting dari CCT adalah menghubungkan pelbagai pengalaman dan perasaan agar secara utuh dirasakan dan dipahami oleh klien. Pelbagai pengalaman dan perasaan terkait, dihubungkan satu dengan yang lain untuk menemukan titik temu antar persoalan tersebut.
Penyelesaian persoalan tetap berada pada klien sebagai sumbu utamanya. Artinya, terapis juga berfungsi menjadi fasilitator yang menggali pelbagai kemungkinan dalam diri klien untuk menemukan solusi bagi situasinya yang sesuai dengan kepribadian dan situasi aktual atau medan fenomena yang dihadapi oleh klien. Rogers memberikan catatan bahwa semua pengalaman tidak sepenuhnya dialami (the past experience has never been completely experienced), karena itu salah satu tugas terapis adalah mendorong agar klien menemukan potongan pengalaman yang terdistorsi atau teringkari (denied) yang menimbulkan inkongruensi dan berujung pada kecemasan atau persoalan psikologis.
Prinsip dasar terapi dengan tanpa mengarahan (nondirective therapy) mengharuskan terapis menggali pengalaman klien secara utuh yang memungkinkan klien turut menemukan pemecahan atas persoalan atau sesuatu yang menghambat dan menjadi persoalan pada diri klien. Proses ini membutuhkan penuhnya perhatian dan penghormatan terapis pada situasi, kepribadian dan pengalaman klien tersebut. Klien menurut Rogers memiliki independensi untuk menemukan cara dan metode untuk menyelesaikan persoalannya sesuai dengan kenyamanan –yang mengacu pada konsep kepribadian klien sendiri.

Peran Terapis Menurut Rogers

Terapis dalam CCT tidak berfungsi sebagai orang yang menyelesaikan persoalan klien. Prinsip dasar psikoterapi Rogers yang menyebutkan individu adalah yang berdaya dan berkemampuan menyelesaikan persoalannya sendiri menempatkan terapis sebagai fasilitator bagi klien. Dalam hal ini, terapi berfungsi untuk menghubungkan pelbagai pengalaman klien, membangun pemahaman yang utuh, serta mendorong klien menemukan keselarasan (kongruensi) dengan mengacu pada kenyamanan –self structure– klien. Terapis bertugas untuk menciptakan situasi dan kehendak terapeutik bagi klien sehingga dapat menemukan tindakan yang paling tepat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Karena itu, fungsi terapis perlu selaras dengan prinsip terapi yang dikemukakan oleh rogers, yaitu:
a). Pemahaman secara empatik atas situasi klien
b). Penghargaan tanpa syarat
c). Keselarasan atau kongruensi
d). Adanya iklim terapeutik yang diutamakan dalam situasi terapi

Kualifikasi dan Keterampilan Terapis

Penerapan terapi CCT setidaknya membutuhkan tiga aspek penting pada terapis yang menangani subyek terapi, yaitu:

a). Empati

Empati harus dibedakan sebelumnya dengan  simpati. Empati mengacu pada pengalaman dan pemaknaan –apa yang dirasakan– langsung dari subyek yang mengalami. Terapis tidak mencapur pengalaman subyek dengan persepsi pribadinya yang memiliki pengalaman sejenis atau berbeda. Sikap empati menempatkan terapis dalam situasi yang alami untuk memahami situasi klien. Kemampuan ini juga mengharuskan terapis memeriksa apakah pemahamannya sesuai dengan pemahaman yang dimiliki oleh klien. Empati adalah situasi alamiah yang mengalir mengacu pada klien, dan bukan dalam bentuk refleksi yang mekanis atau mekanisme berkaca antara terapis dan klien.

b) Peduli

Sikap ini ditandai dengan penghargaan tak bersyarat terhadap klien. Terapis menghargai dengan pendekatan yang hangat, mengalir dan tanpa syarat atas otentitas klien sebagai individu yang memiliki keunikan pengalaman dan perasaan.

c). Otentitas

Maksud dari otentitas adalah kemampuan daan kesesuaian terapis untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman klien secara utuh dengan mengacu pada klien. Tindakan ini tidak justeru tidak menggunakan pendekatan yang berjarak melainkan menggunakan teknik yang mengalir dan tanpa batasan jarak.

Daftar Pustaka

http://ensiklo.com/2014/07/mengenal-konsep-dan-metode-psikoterapi-carl-rogers/#Konsep_dan_Teori_Kepribadian_Menurut_Rogers
 
Corsini,. R.,J & Wedding,. D. (2011). Current Psychoterapist. Belmont: Brooks Cole Cengage Learning.

Artikel ke 5 : Konsep Dasar Pandangan Humanistik Eksistensial

 KONSEP DASAR

Psikologi eksistensial humanistic berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih – alih suatu system teknik – teknik  yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Pendekatan terapi eksistensial bukan suatu pendekatan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi – terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep – konsep dan asumsi – asumsi tentang manusia. Menurut Gerald Corey, (1988:54-55) ada beberapa konsep utama dari pendekatan eksistensial yaitu :

1. Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesanggupan untuk memilih alternative – alternatif yakni memutuskan secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia.

2. Kebebasan, tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab dapat menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati. Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang, sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi – potensinya.

3. Penciptaan Makna
Manusia itu unik, dalam artian bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Pada hakikatnya manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah makhluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna dapat menimbulkan kondisi-kondisi keterasingan dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi – potensi manusiawinya sampai taraf tertentu.
Konsep dasar menurut Akhmad Sudrajat adalah :
  • Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya.
  • Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju aktualisasi diri
  • Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan yang mengarah pada seluruh bentuk self expression.

TUJUAN-TUJUAN TERAPEUTIK

Menurut Gerald Corey, (1988:56) ada beberapa tujuan terapeutik yaitu :

a. Agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi – potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Keotentikan sebagai “urusan utama psikoterapi” dan “nilai eksistensial pokok”. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik :
1)      Menyadari sepenuhnya keadaan sekarang,
2)      Memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan
3)      Memikul tanggung jawab untuk memilih.

b. Meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya.

c. Membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekadar korban kekuatan – kekuatan deterministic di luar dirinya.
Tujuan Konseling menurut Akhmad Sudrajat yaitu :
  1. Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya.
  2. Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal mungkin.
  3. Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses aktualisasi dirinya.
  4. Membantu individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi dirinya.

TEKNIK MODEL

Teknik yang digunakan mengikuti alih – alih mendahului pemahaman. Karena menekankan pada pengalaman klien sekarang, para terapis eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan metode – metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi tidak hanya dari klien yang satu kepada klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama Meskipun terapi eksistensial bukan merupakan metode tunggal, di kalangan terapis eksistensial dan humanistik ada kesepakatan menyangkut tugas – tugas dan tanggung jawab terapis. Psikoterapi difokuskan pada pendekatan terhadap hubungan manusia alih – alih system teknik. Para ahli psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal – hal berikut (Gerald Corey.1988:58) :
  1. Mengakui pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
  2. Menyadari peran dari tanggung jawab terapis.
  3. Mengakui sifat timbal balik dari hubungan terapeutik.
  4. Berorientasi pada pertumbuhan.
  5. Menekankan keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi yang menyeluruh.
  6. Mengakui bahwa putusan – putusan dan pilihan – pilihan akhir terletak di tangan klien.
  7. Memandang terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya hidup dan pandangan humanistiknya tentang manusia bisa secara implicit menunjukkan kepada klien potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
  8. Mengakui kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
  9. Bekerja ke arah mengurangi kebergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.
Menurut Akhmad Sudrajat teknik yang dianggap tepat untuk diterapkan dalam pendekatan ini yaitu teknik client centered counseling, sebagaimana dikembangkan oleh Carl R. Rogers. meliputi: (1) acceptance (penerimaan); (2) respect (rasa hormat); (3) understanding (pemahaman); (4) reassurance (menentramkan hati); (5) encouragementlimited questioning (pertanyaan terbatas; dan (6) reflection (memantulkan pernyataan dan perasaan). (memberi dorongan); (5)
Melalui penggunaan teknik-teknik tersebut diharapkan konseli dapat (1) memahami dan menerima diri dan lingkungannya dengan baik; (2) mengambil keputusan yang tepat; (3) mengarahkan diri; (4) mewujudkan dirinya.

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PENDEKATAN EKSISTENSIAL HUMANISTIK

Kelebihan
  1. Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
  2. Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri.
  3. Memanusiakan manusia.
Kelemahannya
  1. Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal
  2. Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas.
  3. Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri)
  4. Memakan waktu lama.

Daftar Pustaka:
Gerald, Corey. 1988. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.Bandung : PT ERESCO
http://www.psikologizone.com/konseling-terapi-pendekatan-eksistensial/06511676
http://syarifah-mimien.blogspot.com/2005/03/terapi-eksistensial-humanistik.htm
http://akhmadsudrajat.woordpress.com

Artikel 4 : Konsep Dasar Psikoanalisis

Freud memandang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministik,  mekanistik, dan reduksionistik. Di mana manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi-motivasi tidak sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan naluriah, dan oleh peristiwa-pristiwa psikoseksual yang terjadi selama lima tahun pertama dari kehidupan. Freud menekankan peran naluri-naluri yang bersifat bawaan dan biologis, ia juga menekankan pada naluri seksual dan impuls-impuls agresif. Menurutnya tujuan segenap kehidupan adalah kematian, kehidupan ini adalah tidak lain jalan melingkar ke arah kematian. 
  
Sumbangan terbesar Freud adalah konsep-konsepnya tentang kesadaran dan ketidaksadaran yang merupakan dasar atau kunci untuk memahami tingkah laku dan masalah kepribadian. Dengan kepercayaannya bahwa sebagian besar fungsi psikologis terletak di luar kawasan kesadaran,  maka sasaran terapi psikoanalitik adalah membuat motif-motif tidak sadar menjadi disadari. Dari perspektif ini, terapi adalah upaya menyingkap makna gejala-gejala, sebab-sebab tingkah laku, dan bagian-bagian yang direpresi yang menghalangi fungsi psikologis yang sehat. 

Selain kesadaran, kecemasan juga menjadi hal yang esensial untuk menggambarkan tentang sifat manusia. Apabila tidak dapat mengendalikan kecemasan melalui cara-cara yang rasional dan langsung maka ego akan mengandalkan cara-cara yang tidak relistis yaitu tingkah laku yang berorientasi pada pertahanan ego. Freud menyakini bahwa  individu yang hati nuraninya berkembang baik cenderung merasa berdosa apabila dia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kode moral yang dimilikinya.
  
Berdasarkan dari teori yang dikembangkan Freud, prinsip-prinsip psikonalisis tentang hakikat manusia didasarkan pada asumsi-asumsi :
a.       Pengalaman masa kanak-kanak mempengaruhi perilaku pada masa dewasa
b.      Proses mental yang tidak disadari mengintegrasi perilaku-perilaku
c.       Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan mengembangkan diri melalui dorongan libido dan agresivitasnya sejak lahir
d.      Secara umum perilaku manusia bertujuan untuk meredakan ketegangan, menolak kesakitan dan mencari kenikmatan
e.       Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan seksual mengarah pada perilaku neurosis
f.       Pembentukan simptom merupakan bentuk defensif
g.       Apa yang terjadi pada seseorang saat ini dihubungkan pada sebab-sebab di masa lampaunya dan memotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan di masa yang akan datang
h.      Latihan pengalaman di masa kanak-kanak berpengaruh penting pada perilaku masa dewasa dan diulangi dalam transferensi selama proses terapi.

C.    PERKEMBANGAN  PERILAKU
1.      Struktur Kepribadian
Menurut pandangan Psikoanalisa, struktur kepribadian manusia tersusun secara struktural, dimana terdapat subsistem yang berinteraksi secara dinamis, yaitu id, ego, dan superego.
a)      Id, atau biasa disebut struktur kepribadian primitif adalah sistem kepribadian yang dimiliki individu sejak lahir, yang dihubungkan dengan faktor biologis dan hereditas. Digerakkan oleh libido,  yaitu energi psikis untuk dapat beradaptasi secara fisiologis dan sosial untuk mempertahankan dan mengembangkan spesiesnya. Prinsip kerjanya selalu mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit atau ketidaknyamanan. Tempatnya ada pada alam bawah sadar dan secara langsung berpengaruh terhadap perilaku seseorang tanpa disadari.
Menurut Freud terdapat dua insting dasar dalam Id, yaitu Eros dan Thanatos. Eros merupakan insting untuk bertahan hidup, dengan libido sebagai dorongan utama. Sedangkan Thanatos merupakan insting yang mendorong individu untuk berperilaku agresif dan destruktif.
b)      Ego, adalah strukutur kepribadian yang tidak diperoleh saat lahir, tetapi dipelajari sepanjang berinteraksi dengan lingkungannya. Ego memiliki kontak dengan dunia eksternal dari kenyataan, merupakan eksekutif dari struktur kepribadian yang bertugas memerintah, mengendalikan, dan mengatur. Ego mempunyai tugas sebagai “penengah” antara dorongan-dorongan biologis (Id) dan tuntutan atau hati nurani yang terbentuk dari orang tua, budaya, dan tradisi ( superego). Ego bertindak realistis dan berfikir logis dalam merumuskan rencana-rencana tindakan bagi pemuasan kebutuhan. Hubungan antara ego dengan id, adalah bahwa ego adalah tempat bersemayamnya inteligensi dan rasionalitas yang mengawasi dan mengendalikan impuls buta id, sementara id hanya mengenal kenyataan yang subyektif.
c)      Superego, adalah struktur kepribadian yang berhubungan dengan tindakan baik-buruk, benar-salah. Superego dikembangkan dari kebudayaan dan nilai sosial, terbentuk karena adanya interaksi dengan orang tua dan masyarakat, merepresentasikan hal-hal yang ideal, dan mendorong individu kepada kesempurnaan, bukan kesenangan semata. Dapat dikatakan superego merupakan kata hati seseorang dan sebagai alat kontrol dari dalam individu untuk menentang kehendak Id. Tempatnya pada alam sadar dan terbentuk sejak kanak-kanak lalu terus berkembang hingga dewasa.
Sehingga menurut Freud,  struktur kepribadian merupakan sistem yang kompleks, karena adanya interaksi antara tuntutan Id, dunia realitas yang dimiliki Ego dan harapan moral Superego. 
Periode Perkembangan Psikoseksual
Freud berpendapat bahwa tahapan perkembangan individu yang terpenting terjadi pada 5 tahun pertama kehidupannya, dan periode perkembangan psikoseksual pada masa ini merupakan landasan bagi perkembangan kepribadian individu selanjutnya,
1.      Fase Oral (0 – 1 tahun)
Mulai usia 0 – 1 tahun seorang bayi menjalani fase oral, pada masa ini mulut dan bibir merupakan zona yang peka. Kebutuhan akan makanan dan kesenangan dipuaskan dengan aktivitas menyusu pada ibunya. Benda-benda yang dicari anak dapat menjadi pengganti bagi apa-apa yang sesungguhnya diinginkannya, yakni makanan dan cinta dari ibunya.
Tugas perkembangan utama fase oral adalah memperoleh rasa percaya, baik kepada diri sendiri, dan orang lain. Cinta adalah perlindungan terbaik terhadap ketakutan dan ketidakamanan. Anak-anak yang dicintai tidak akan banyak menemui kesulitan dalam menerima dirinya, sebaliknya anak-anak yang merasa tidak diinginkan, tidak diterima, dan tidak dicintai cenderung mengalami kesulitan dalam menerima dirinya sendiri, dan belajar untuk tidak mempercayai orang lain, serta memandang dunia sebagai tempat yang mengancam. Efek penolakan pada fase oral akan membentuk anak menjadi pribadi yang penakut, tidak aman, haus akan perhatian, iri, agresif, benci, dan kesepian.
2.      Fase Anal (1 – 3 tahun)
Tugas perkembangan pada fase ini adalah anak harus belajar mandiri, dan belajar mengakui dan menangani perasaan-perasaan negatif. Pada fase anal anak banyak berhadapan dengan tuntutan-tuntutan orangtua, terutama yang berhubungan dengan toilet training, dimana anak memperoleh pengalaman pertama dalam hal kedisiplinan. Banyak sikap terhadap fungsi tubuh sendiri yang dipelajari anak dari orangtuanya. Selama fase anal anak akan mengalami perasaan-perasaan negatif seperti benci, hasrat merusak, marah, dan sebagainya, namun mereka harus belajar bahwa perasaan-perasaan tersebut bisa diterima. Hal penting lain yang harus dipelajari  anak adalah bahwa mereka memiliki kekuatan, kemandirian, dan otonomi.
3.      Fase Phalic (3 – 5 tahun)
Pada fase ini aktivitas seksual anak menjadi lebih intens dan lebih berpusat pada fungsi alat kelaminnya, anak-anak menjadi lebih berhasrat untuk melakukan eksplorasi terhadap tubuhnya, dan menemukan perbedaan-perbedaan di antara kedua jenis kelamin. Fase Phalic juga merupakan periode perkembangan hati nurani, dimana anak belajar mengenai standar-standar moral. Selama fase ini anak perlu belajar menerima perasaan seksualnya sebagai hal yang alamiah dan belajar memandang tubuhnya sendiri secara sehat. Mereka membutuhkan contoh yang memadai bagi identifikasi peran seksual, untuk mengetahui apa yang benar dan salah, serta apa yang maskulin dan feminin, sehingga mereka memperoleh perspektif yang benar tentang peran mereka sebagai anak laki-laki atau anak perempuan.
4.      Fase Laten (6 – 12 tahun)
Pada fase Laten ketertarikan pada masalah seksual sudah berkurang, libido ditekan dan anak mulai mengalihkan energinya ke kegiatan sekolah, bersosialisai dengan teman, olah raga, dan hobi. Namun berkurangnya perhatian pada masalah seksual itu bersifat laten dan masih akan terus memberikan pengaruh pada tahap perkembangan kepribadian berikutnya.
5.      Fase Genital (12 tahun ke atas)
Fase genital dimulai pada usia 12 tahun, yaitu pada masa remaja awal dan berlanjut terus sepanjang hidup. Pada fase ini energi seksual anak mulai terarah kepada lawan jenis bukan lagi pada kepuasan diri melalui masturbasi, dan anak mulai mengenal cinta kepada lawan jenis.
     
Mekanisme Pertahanan Diri
Bagaimana ego mengatasi konflik antara tuntutan realitas, keinginan id, dan hambatan super ego? Freud menerangkan mekanisme-mekanisme pertahanan yang digunakan oleh individu untuk mengatasi kecemasan dan mencegah terlukanya ego. Individu menggunakan pertahanan tergantung pada taraf perkembangan dan tingkat kecemasan yang dialaminya. Beberapa mekanisme pertahanan diri yang dikemukakan oleh Freud, di antaranya :

·         Denial / Penyangkalan
Penyangkalan adalah pertahanan melawan kecemasan dengan menutup mata terhadap kenyataan yang mengancam. Individu mempunyai kecenderungan untuk menolak sejumlah aspek kenyataan yang terlalu menyakitkan untuk diterima
·         Proyeksi
Proyeksi adalah mengalamatkan sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada orang lain. Dengan proyeksi, individu akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dibuatnya sendiri, dan menyangkal bahwa dia memiliki dorongan negatif
·         Fiksasi
Fiksasi yaitu terpaku/tetap pada tahap-tahap perkembangan yang lebih awal karena individu memiliki kecemasan untuk mengambil langkah ke tahap berikutnya. Anak yang memakai mekanisme pertahanan fiksasi biasanya mempunyai hambatan dalam perkembangan dan menjadi tidak mandiri
·         Regresi
Regresi yaitu melangkah mundur ke tahap perkembangan sebelumnya dimana tuntutan-tuntutannya tidak terlalu besar
·         Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah menciptakan alasan-alasan yang “baik” untuk menghindarkan ego dari cedera, memalsukan diri sehingga kenyataan yang mengecewakan menjadi tidak begitu menyakitkan
·         Sublimasi
Sublimasi yaitu menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau lebih dapat diterima secara sosial, mekanisme pertahanan sublimasi ini lebih bersifat positif karena individu mencari jalan lain bagi pengungkapan perasaan agresinya dengan cara yang lebih bermanfaat
·         Displacement
Displacement adalah mengarahkan energi kepada obyek atau orang lain ketika obyek asal tidak terjangkau
·         Represi
Represi adalah melupakan peristiwa traumatis yang bisa membangkitkan kecemasan, dengan menekannya ke alam bawah sadar sehingga tidak lagi menjadi hal-hal yang menyakitkan. Represi merupakan salah satu konsep Freud yang paling penting, karena merupakan dasar bagi sebagian besar pertahanan ego yang digunakan individu
·         Formasi Reaksi
Formasi reaksi adalah melakukan tindakan yang berlawanan dengan hasrat-hasrat tak sadar. Ketika perasaan-perasaan yang lebih dalam menimbulkan ancaman, maka individu berusaha menampilkan tingkah laku yang berlawanan untuk menyangkal perasaan-perasaan negatifnya.

D.    HAKIKAT KONSELING
Secara umum hakikat konseling adalah mengubah perilaku. Dalam pendekatan psikonanalisa hakikat konseling adalah agar individu mengetahui ego dan memiliki ego yang kuat, yaitu menempatkan ego pada tempat yang benar yaitu sebagai pihak mampu memilih secara rasional dan menjadi mediator antara Id dan Superego. Konseling dalam pandangan psikoanalisis adalah sebagai proses re-edukasi terhadap ego menjadi lebih realistik dan rasional. Terdapat   4 teknik dasar dalam konseling psikoanalisis, yaitu :
1.      Asosiasi bebas
Merupakan teknik utama dalam pendekatan psikoanalisa. Di sini konseli diminta untuk memanggil kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan-pelepasan emosi yang berkaitan dengan peristiwa traumatis di masa lampau. Pada teknik asosiasi bebas konseli mengalami proses katarsis, dimana dia mendapatkan kebebasan untuk mengemukakan segenap perasaan dan pikiran yang terlintas di benaknya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Biasanya dilakukan dengan cara konseli berbaring di atas sofa sementara konselor duduk di belakang kepalanya sehingga tidak mengganggu perhatian konseli pada saat melakukan asosiasi bebas.
Selama proses berlangsung tugas konselor adalah mengenali peristiwa-peristiwa yang di-repres dan dikurung oleh konseli dalam ketidaksadarannya. Kemudian konselor menafsirkan pengalaman itu, menyampaikannya kepada konseli dan membimbingnya ke arah peningkatan pemahaman atas dinamika yang  tidak disadari oleh konseli

2.       Analisis mimpi
Freud menyebut mimpi sebagai jalan istimewa menuju ketidaksadaran, sebab melalui mimpi hasrat, kebutuhan, dan ketakutan yang tidak disadari bisa terungkap. Mimpi memiliki 2 taraf isi yaitu isi laten dan isi manifes, isi laten terdiri dari motif-motif yang tersembunyi dan simbolis, sebaliknya isi manifes yaitu gambaran yang tampak dalam mimpi yang dialami oleh individu. Tugas konselor disini adalah untuk menyingkap isi laten yang tergambar dalam isi manifes mimpi konseli, serta mengasosiasikannya guna menyingkap makna-makna terselubung di dalamnya
3.      Analisis resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang menghambat kelangsungan terapi dan mencegah konseli mengungkapkan alasan-alasan kecemasannya. Freud berpendapat bahwa hal ini tidak bisa dibiarkan karena akan menghambat proses konseling. Penafsiran terhadap resistensi harus dilaksanakan untuk membantu konseli menyadari alasan-alasan yang ada di balik resistensi dan kemudian mampu menyelesaikan konfliknya secara realistis
4.      Analisis transferensi
Transferensi terjadi ketika terdapat sebuah “urusan yang belum selesai” dengan orang-orang penting di masa lalu, yang terdistorsi ke masa sekarang dan memberikan reaksi kepada konselor sebagaimana dia bereaksi terhadap ayah atau ibunya pada masa kanak-kanak. Di sini konselor melakukan penafsiran agar konseli  mampu menembus konflik masa lalu, dan menggarap konflik emosional yang terdapat pada hubungan terapeutiknya bersama sang konselor.

E.     KONDISI PENGUBAHAN
1.      Tujuan
Menurut Corey (2005), tujuan terapi psikoanalisa adalah untuk membentuk kembali struktur karakter individu, dengan cara merekonstruksi, membahas, menganalisa, dan menafsirkan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau, yang terjadi di masa kanak-kanak. Membantu konseli untuk membentuk kembali struktur karakternya dengan menjadikan hal-hal yang tidak disadari menjadi disadari oleh konseli. Secara spesifik, membawa konseli dari dorongan-dorongan yang ditekan (ketidaksadaran) yang mengakibatkan kecemasan kearah perkembangan kesadaran intelektual,  menghidupkan   kembali  masa  lalu konseli dengan menembus konflik yang ditekan, memberikan kesempatan kepada konseli untuk  menghadapi situasi yang selama ini ia gagal mengatasinya.
2.      Peran Konselor
Karakteristik konselor dalam psikoanalisa adalah membiarkan dirinya anonim serta hanya berbagi sedikit saja perasaan dan pengalaman pribadinya kepada konseli. Peran utama konselor dalam konseling ini adalah membantu konseli dalam mencapai kesadaran diri, ketulusan hati, dan hubungan pribadi yang lebih efektif dalam menghadapi kecemasan melalui cara-cara yang realistis, serta dalam rangka memperoleh kembali kendali atas tingkah lakunya yang impulsif dan irasional.
Konselor  membangun hubungan kerja sama dengan konseli dan kemudian melakukan serangkaian kegiatan mendengarkan dan menafsirkan. Konselor juga memberikan perhatian kepada resistensi konseli untuk mempercepat proses penyadaran hal-hal yang tersimpan dalam ketidaksadaran. Sementara konseli berbicara, konselor berperan mendengarkan dan kemudian memberikan tafsiran-tafsiran terhadap informasi konseli, konselor juga harus peka terhadap isyarat-isyarat non verbal dari konseli. Salah satu fungsi utama konselor adalah mengajarkan proses arti proses kepada konseli agar mendapatkan pemahaman terhadap masalahnya sendiri, mengalami peningkatan kesadaran atas cara-cara berubah, sehingga konseli mampu mendaptakan kendali yang lebih rasional atas hidupnya sendiri.
3.      Peran Konseli
Konseli harus bersedia terlibat dalam proses konseling secara intensif, dan melakukan asosiasi bebas dengan mengatakan segala sesuatu yang terlintas dalam pikirannya, karena produksi verbal konseli merupakan esensi dari kegiatan konseling psikoanalisa. Pada kasus-kasus tertentu konseli diminta secara khusus untuk tidak mengubah gaya hidupnya selama proses konseling. Dalam pelaksanaan konseling psikoanalisis, klien menelusuri apa yang tepat dan tidak tepat pada tingkah lakunya dan mengarahkan diri untuk membangun tingkah laku baru.
4.      Situasi Hubungan
Dalam konseling psikoanalisis terdapat 3 bagian hubungan konselor dengan klien, yaitu aliansi, transferensi, dan kontratransferensi :
a.       Aliansi  yaitu  sikap klien kepada konselor yang relatif rasional, realistik, dan tidak neurosis (merupakan prakondisi untuk terwujudnya keberhasilan konseling).
b.      Transferensi
1)      pengalihan segenap pengalaman klien di masa lalunya terhadap orang-orang yang menguasainya, yang ditujukan kepada konselor
2)      merupakan bagian dari hubungan yang sangat penting untuk dianalisis
3)      membantu klien untuk mencapai pemahaman tentang  bagaimana dirinya telah salah dalam menerima,  menginterpretasikan, dan merespon pengalamannya pada saat ini dalam kaitannya dengan masa lalunya.
c.       Kontratransferensi
Yaitu kondisi dimana konselor mengembangkan pandangan-pandangan yang tidak selaras dan berasal dari konflik-konfliknya sendiri. Kontratransferensi bisa terdiri dari perasaan tidak suka, atau justru keterikatan atau  keterlibatan yang berlebihan, kondisi ini dapat menghambat kemajuan proses konseling karena konselor akan lebih terfokus pada masalahnya sendiri. Konselor harus menyadari perasaaannya terhadap klien dan mencegah pengaruhnya yang bisa merusak. Konselor diharapkan untuk bersikap relatif obyektif dalam menerima kemarahan, cinta, bujukan, kritik, dan emosi-emosi kuat lainnya dari konseli.

F.     KELEMAHAN DAN KELEBIHAN PENDEKATAN PSIKONALISA
Kelemahan dari pendekatan ini adalah:
1.      Pandangan yang terlalu determistik dinilai terlalu merendahkan martabat kemanusiaan.
2.      Terlalu banyak menekankan kepada masa kanak-kanak dan menganggap kehidupan seolah-olah ditentukan oleh  masa lalu. Hal ini memberikan gambaran seolah-olah  tanggung jawab individu berkurang.
3.      Cenderung meminimalkan rasionalitas.
4.      Kurang efisien dari segi waktu dan biaya




Kelebihan dari pendekatan ini adalah:
1.      Penggunaan terapi wicara
2.      Kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, dan dapat memahami sifat manusia untuk meredakan penderitaan manusia.
3.      Pendekatan ini dapat mengatasi kecemasan melalui analisis atas mimpi-minpi, resistensi-resistensi dan transferensi-trasnferensi.
4.      Pendekatan ini memberikan kepada konselor suatu kerangka konseptual untuk melihat tingkah laku serta untuk memahami sumber-sumber dan fungsi simptomatologi.

DAFTAR PUSTAKA

Boeree C.,George, Dr. 2006. Personality Theories (terjemahan oleh Injiah Ridwan Muzir). Yogyakarta: Prismasophie

Capuzzi, D. & Gross, D.R. 2007. Counseling & Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Prentice-Hall

Corey, G. 2005. Teori dan Praktek. Konseling dan Psikoterapi.  Bandung: PT. Rafika Aditama

Latipun. 2001. Psikologi Konseling. UMM. Malang

Person Centered Therapy (Rogers)

Terapi person centered merupakan model terapi berpusat pribadi yang dipelopori dan dikembangkan oleh psikolog humanistis Carl R. Rogers. Ia memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek terapi person centered. Menurut Roger konsep inti terapi person centered adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.

SEJARAHNYA
sejarahnya, terapi yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa perkembangan. Pada mulanya dia mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive counseling (1940). Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor atau directive counseling dan terlalu tradisional. Pada 1951 Rogers mengubah namanya menjadi client-centered therapy sehubungan dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Kemudian pada 1957 Rogers mengubah sekali lagi pendekatannya menjadi konseling yang berpusat pada person (person centred therapy), yang memandang klien sebagai partner dan perlu adanya keserasian pengalaman baik pada klien maupun terapis. Terapi ini memperoleh sambutan positif dari kalangan ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat berkembang secara pesat. Hingga saat ini, terapi ini masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan. 

Pendekatan terapi person centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Terapi ini berfokus pada bagaimana membantu dan mengarahkan klien pada pengaktualisasian diri untuk dapat mengatasi permasalahannya dan mencapai kebahagiaan atau mengarahkan individu tersebut menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan.

Terapi ini cocok untuk orang-orang dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan dalam dirinya, mereka biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan dikehidupannya, sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya. Contohnya orang-orang yang merasakan penolakan dan pengucilan dari yang lain, pengasingan yakni orang yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya, defensive, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya.

Ciri-Ciri Person-Centered Therapy
  1. Terapi berpusat pada person difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan lebih sempurna.
  2. Menekankan medan fenomenal klien. Medan fenomenal (fenomenal field) merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Klien tidak lagi menolak atau mendistorsi pengalaman-pengalaman sebagaimana adanya.
  3. Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkan bahwa hasrat kematangan psikologis manusia itu berakar pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak psikoterapeutik terjadi karena hubungan terapis dan klien.
  4. Terapi ini tidak dilakukan dengan suatu sekumpulan teknik yang khusus. Tetapi pendekatan ini berfokus pada person sehingga terapis dan klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.

Teknik-Teknik Person-Centered Therapy
Terapi ini tidak memiliki metode atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis membangun hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Terapis memandang klien sebagai narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. Dalam terapi ini pada umumnya menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya atau menggali informasi. Untuk terapis person centered, kualitas hubungan terapi jauh lebih penting daripada teknis. Terapis harus membawa ke dalam hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut;
  • Menerima. Terapis menerima pasien dengan respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif. Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman dirinya dan perubahan yang positif.
  • Keselarasan (congruence). Terapis dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
  • Pemahaman. Terapis mampu melihat pasien dalam cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
  • Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini. Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas bagi pasien.
  • Hubungan yang membawa akibat. Suatu hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.

Tahap-Tahap Person-Centered Therapy
Jika dilihat dari apa yang dilakukan terapis dapat dibuat dua tahap, yaitu; Pertama, tahap membangun hubungan terapeutik, menciptakan kondisi fasilitatif dan hubungan yang substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan, penghargaan, dan positif tanpa syarat. Tahap kedua adalah tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas hubungan konseling dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Sedangkan jika dilihat dari segi pengalaman klien dalam proses hubungan terapi dapat dijabarkan bahwa proses terapi dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu;
  1. klien datang ke terapis dalam kondisi tidak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi penyesuaian diri yang tidak baik.
  2. saat klien menjumpai terapis dengan penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang dialami, dan menemukan jalan atas kesulitan-kesulitannya. Perasaan yang ada pada klien adalah ketidakmampuan mengetasi kesulitan hidupnya.
  3. pada awal terapi klien menunjukan perilaku, sikap, dan perasaannya yang kaku. Dia menyatakan permasalahan yang dialami kepada terapis secara permukaan dan belum menyatakan pribadi yang dalam. Pada awal-awal ini klien cenderung mengeksternalisasi perasaan dan masalahnya, dan mungkin bersikap defensif.
  4. klien mulai menghilangkan sikap dan perilaku, membuka diri terhadap pengalamannya., dan belajar untuk bersikap lebih matang dan lebih teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan pengalaman yang didistorsinya.

Tujuan Person-Centered Therapy
Pada terapi ini Rogers tidak mengkhususkan tujuan untuk satu pemecahan masalah. Tapi untuk membantu klien dalam proses pertumbuhan dan perkembangan mereka, sehingga klien dapat lebih baik dalam memahami, menerima serta mengatasi masalah mereka saat ini dan masa depan. Tidak ditetapkan tujuan khusus dalam terapi ini, sebab terapis digambarkan memiliki kepercayaan penuh pada klien untuk menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dari dirinya sendiri. Bagi Rogers pada dasarnya tujuan terapi ini adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif sebagai usaha untuk membantu klien menjadi pribadi yang utuh (fully functioning person), yaitu pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan dirinya. Tujuan dasar terapi ini kemudian diklasifikasikan kedalam 4 konsep inti tujuan terapi, yaitu;
a.    Keterbukaan pada pengalaman
Klien diharapkan dapat lebih terbuka dan lebih sadar dengan kenyataan pengalaman mereka. Hal ini juga berarti bahwa klien diharapkan dapat lebih terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan mereka serta bisa menoleransi keberagaman makna dirinya.
b.    Kepercayaan pada organisme sendiri
Dalam hal ini tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Biasanya pada tahap-tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Namun dengan meningkatnya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
c.    Tempat evaluasi internal
Tujuan ini berkaitan dengan kemampuan klien untuk instropeksi diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Klien juga diharapkan untuk dapat menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
d.    Kesediaan untuk menjadi satu proses.
Dalam hal ini terapi bertujuan untuk membuat klien sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.

Efektivitas Person-Centered Therapy
Terapi person center bisa efektif apabila terjalin hubungan yang baik antara terapis dan klien. Hubungan yang baik ini mengandung tiga unsur penting yaitu penerimaan yang hangat, keselarasan dan kesejatian, serta empati yang akurat. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari terapi ini, maka perubahan kepribadian mengikuti model “jika-maka” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: syarat-syarat, proses, dan hasil. Jika syarat-syarat itu dipenuhi, maka proses akan terjadi. Jika proses terjadi, maka hasil-hasilnya pun akan muncul. Supaya terapi dapat berhasil, maka syarat-syarat berikut harus dipenuhi, yaitu:
  • Dua orang berada dalam hubungan psikologis
  • Yang pertama, mereka yang disebut klien, berada dalam status tidak menentu, rapuh, dan cemas
  • Orang kedua yang disebut terapis, berada dalam keadaan selaras atau terintegrassi dalam berhubungan
  • Terapis mengalami unconditional positive regard atau merasakan sikap positif tak bersyarat terhadap pasien
  • Terapis memperlihatkan pemahaman yang akurat dan empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of reference) klien dan berusaha mengkomunikasikan pemahamannya itu kepada pasien
  • Terjadinya pengkomunikasian pemahaman empatik terapis dan sikap positif tidak bersyarat terapis kepada klien, walaupun pada tingkatan yang paling minim.
Terapi ini dikatakan berhasil atau efektif untuk klien jika klien dapat menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri sampai tujuannya itu tercapai sehingga dapat menjadi manusia yang berfungsi penuh. Ada beberapa kelebihan dari terapi ini, yaitu;
  • Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis
  • Identifikasi dan hubungan terapis sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian. Sehingga tidak menekankan pada teknik namun pada sikap terapi
  • Menawarkan perspektif yang lebih uptodate dan optimis
  • Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya. Klien merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak dijustifikasi, selain itu klien diberikan peluang yang lebih luas untuk mendengar dan didengar
  • Sifat keamanan. Individu dapat mengexplorasi pengalaman-pengalaman psikologis yang bermaknya baginya dengan perasaan aman
  • Dapat diterapkan pada setting individual maupun kelompok
Sedangkan kekurangan dari terapi adalah sebagai berikut;
  • Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana dan dalam tujuannya, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai individu
  • Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya, serta minim teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya
  • Sulit bagi terapis untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal
  • Terapi  menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi ini tidak lebih daripada teknik mendengar dan merefleksi.
  • Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatologi yang parah
  • Memungkinkan sebagian (terapis) menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga melupakan keasliannya. Terapis dapat kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.
  • Kesalahan sebagian besar terapis dalam menterjemahkan sikap-sikap yang harus dikembangkan dalam hubungan terapeutik. Sejumlah praktisi terkadalang menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi person-centered.


DAFTAR PUSTAKA:
  • Abidin, Zanial, 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: PT Refika Aditama.
  • Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
  • Palmer, Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar