Rabu, 22 April 2015

Person Centered Therapy (Rogers)

Terapi person centered merupakan model terapi berpusat pribadi yang dipelopori dan dikembangkan oleh psikolog humanistis Carl R. Rogers. Ia memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek terapi person centered. Menurut Roger konsep inti terapi person centered adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.

SEJARAHNYA
sejarahnya, terapi yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa perkembangan. Pada mulanya dia mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive counseling (1940). Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor atau directive counseling dan terlalu tradisional. Pada 1951 Rogers mengubah namanya menjadi client-centered therapy sehubungan dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Kemudian pada 1957 Rogers mengubah sekali lagi pendekatannya menjadi konseling yang berpusat pada person (person centred therapy), yang memandang klien sebagai partner dan perlu adanya keserasian pengalaman baik pada klien maupun terapis. Terapi ini memperoleh sambutan positif dari kalangan ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat berkembang secara pesat. Hingga saat ini, terapi ini masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan. 

Pendekatan terapi person centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Terapi ini berfokus pada bagaimana membantu dan mengarahkan klien pada pengaktualisasian diri untuk dapat mengatasi permasalahannya dan mencapai kebahagiaan atau mengarahkan individu tersebut menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan.

Terapi ini cocok untuk orang-orang dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan dalam dirinya, mereka biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan dikehidupannya, sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya. Contohnya orang-orang yang merasakan penolakan dan pengucilan dari yang lain, pengasingan yakni orang yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya, defensive, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya.

Ciri-Ciri Person-Centered Therapy
  1. Terapi berpusat pada person difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan lebih sempurna.
  2. Menekankan medan fenomenal klien. Medan fenomenal (fenomenal field) merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Klien tidak lagi menolak atau mendistorsi pengalaman-pengalaman sebagaimana adanya.
  3. Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkan bahwa hasrat kematangan psikologis manusia itu berakar pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak psikoterapeutik terjadi karena hubungan terapis dan klien.
  4. Terapi ini tidak dilakukan dengan suatu sekumpulan teknik yang khusus. Tetapi pendekatan ini berfokus pada person sehingga terapis dan klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.

Teknik-Teknik Person-Centered Therapy
Terapi ini tidak memiliki metode atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis membangun hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Terapis memandang klien sebagai narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. Dalam terapi ini pada umumnya menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya atau menggali informasi. Untuk terapis person centered, kualitas hubungan terapi jauh lebih penting daripada teknis. Terapis harus membawa ke dalam hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut;
  • Menerima. Terapis menerima pasien dengan respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif. Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman dirinya dan perubahan yang positif.
  • Keselarasan (congruence). Terapis dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
  • Pemahaman. Terapis mampu melihat pasien dalam cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
  • Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini. Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas bagi pasien.
  • Hubungan yang membawa akibat. Suatu hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.

Tahap-Tahap Person-Centered Therapy
Jika dilihat dari apa yang dilakukan terapis dapat dibuat dua tahap, yaitu; Pertama, tahap membangun hubungan terapeutik, menciptakan kondisi fasilitatif dan hubungan yang substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan, penghargaan, dan positif tanpa syarat. Tahap kedua adalah tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas hubungan konseling dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Sedangkan jika dilihat dari segi pengalaman klien dalam proses hubungan terapi dapat dijabarkan bahwa proses terapi dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu;
  1. klien datang ke terapis dalam kondisi tidak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi penyesuaian diri yang tidak baik.
  2. saat klien menjumpai terapis dengan penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang dialami, dan menemukan jalan atas kesulitan-kesulitannya. Perasaan yang ada pada klien adalah ketidakmampuan mengetasi kesulitan hidupnya.
  3. pada awal terapi klien menunjukan perilaku, sikap, dan perasaannya yang kaku. Dia menyatakan permasalahan yang dialami kepada terapis secara permukaan dan belum menyatakan pribadi yang dalam. Pada awal-awal ini klien cenderung mengeksternalisasi perasaan dan masalahnya, dan mungkin bersikap defensif.
  4. klien mulai menghilangkan sikap dan perilaku, membuka diri terhadap pengalamannya., dan belajar untuk bersikap lebih matang dan lebih teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan pengalaman yang didistorsinya.

Tujuan Person-Centered Therapy
Pada terapi ini Rogers tidak mengkhususkan tujuan untuk satu pemecahan masalah. Tapi untuk membantu klien dalam proses pertumbuhan dan perkembangan mereka, sehingga klien dapat lebih baik dalam memahami, menerima serta mengatasi masalah mereka saat ini dan masa depan. Tidak ditetapkan tujuan khusus dalam terapi ini, sebab terapis digambarkan memiliki kepercayaan penuh pada klien untuk menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dari dirinya sendiri. Bagi Rogers pada dasarnya tujuan terapi ini adalah untuk menciptakan iklim yang kondusif sebagai usaha untuk membantu klien menjadi pribadi yang utuh (fully functioning person), yaitu pribadi yang mampu memahami kekurangan dan kelebihan dirinya. Tujuan dasar terapi ini kemudian diklasifikasikan kedalam 4 konsep inti tujuan terapi, yaitu;
a.    Keterbukaan pada pengalaman
Klien diharapkan dapat lebih terbuka dan lebih sadar dengan kenyataan pengalaman mereka. Hal ini juga berarti bahwa klien diharapkan dapat lebih terbuka terhadap pengetahuan lebih lanjut dan pertumbuhan mereka serta bisa menoleransi keberagaman makna dirinya.
b.    Kepercayaan pada organisme sendiri
Dalam hal ini tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Biasanya pada tahap-tahap permulaan terapi, kepercayaan klien terhadap diri sendiri dan putusan-putusannya sendiri sangat kecil. Mereka secara khas mencari saran dan jawaban-jawaban dari luar karena pada dasarnya mereka tidak mempercayai kemampuan-kemampuan dirinya untuk mengarahkan hidupnya sendiri. Namun dengan meningkatnya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
c.    Tempat evaluasi internal
Tujuan ini berkaitan dengan kemampuan klien untuk instropeksi diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Klien juga diharapkan untuk dapat menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
d.    Kesediaan untuk menjadi satu proses.
Dalam hal ini terapi bertujuan untuk membuat klien sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.

Efektivitas Person-Centered Therapy
Terapi person center bisa efektif apabila terjalin hubungan yang baik antara terapis dan klien. Hubungan yang baik ini mengandung tiga unsur penting yaitu penerimaan yang hangat, keselarasan dan kesejatian, serta empati yang akurat. Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari terapi ini, maka perubahan kepribadian mengikuti model “jika-maka” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: syarat-syarat, proses, dan hasil. Jika syarat-syarat itu dipenuhi, maka proses akan terjadi. Jika proses terjadi, maka hasil-hasilnya pun akan muncul. Supaya terapi dapat berhasil, maka syarat-syarat berikut harus dipenuhi, yaitu:
  • Dua orang berada dalam hubungan psikologis
  • Yang pertama, mereka yang disebut klien, berada dalam status tidak menentu, rapuh, dan cemas
  • Orang kedua yang disebut terapis, berada dalam keadaan selaras atau terintegrassi dalam berhubungan
  • Terapis mengalami unconditional positive regard atau merasakan sikap positif tak bersyarat terhadap pasien
  • Terapis memperlihatkan pemahaman yang akurat dan empatik terhadap kerangka acuan internal (internal frame of reference) klien dan berusaha mengkomunikasikan pemahamannya itu kepada pasien
  • Terjadinya pengkomunikasian pemahaman empatik terapis dan sikap positif tidak bersyarat terapis kepada klien, walaupun pada tingkatan yang paling minim.
Terapi ini dikatakan berhasil atau efektif untuk klien jika klien dapat menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri sampai tujuannya itu tercapai sehingga dapat menjadi manusia yang berfungsi penuh. Ada beberapa kelebihan dari terapi ini, yaitu;
  • Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis
  • Identifikasi dan hubungan terapis sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian. Sehingga tidak menekankan pada teknik namun pada sikap terapi
  • Menawarkan perspektif yang lebih uptodate dan optimis
  • Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya. Klien merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak dijustifikasi, selain itu klien diberikan peluang yang lebih luas untuk mendengar dan didengar
  • Sifat keamanan. Individu dapat mengexplorasi pengalaman-pengalaman psikologis yang bermaknya baginya dengan perasaan aman
  • Dapat diterapkan pada setting individual maupun kelompok
Sedangkan kekurangan dari terapi adalah sebagai berikut;
  • Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana dan dalam tujuannya, dirasa terlalu luas dan umum sehingga sulit untuk menilai individu
  • Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya, serta minim teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya
  • Sulit bagi terapis untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal
  • Terapi  menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi ini tidak lebih daripada teknik mendengar dan merefleksi.
  • Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatologi yang parah
  • Memungkinkan sebagian (terapis) menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga melupakan keasliannya. Terapis dapat kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.
  • Kesalahan sebagian besar terapis dalam menterjemahkan sikap-sikap yang harus dikembangkan dalam hubungan terapeutik. Sejumlah praktisi terkadalang menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi person-centered.


DAFTAR PUSTAKA:
  • Abidin, Zanial, 2002. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: PT Refika Aditama.
  • Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
  • Palmer, Stephen. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar